1. Contoh
alat
musik Chondrophone (petik)
Contoh : Rebab
·
Cara membuat Rebab :
Bagian :
Toko
Ciri-ciri
dan fungsi: Diperbuat daripada kayu nangka. Berukuran 25 cm x 20 cm x 15 cm.
Mempunyai ketebalan 8 cm.
Cara
pembuatan: Batang pokok nangka akan ditebang dan diketam untuk melicinkan
permukaannya. Kemudian dipahat sehingga menjadi seperti bentuk tempurung. Toko
akan ditutup dengan kulit usus lembu yang telah dikeringkan dan digam untuk
mengelakkannya tertanggal ketika dimainkan.
Bagian : Kepala
Citi-ciri dan fungsi : Diperbuat daripada kayu pokok tembusu. Berukuran antara
45 hingga 55 cm.
Cara pembuatan: Pemulas tali rebab diperbuat daripada kayu pokok sena dan
berukuran 13 sentimeter setiap satu. Kayu akan dilarik mengikut bentuk dan
motif yang diingini.
Bahagian :
Batang
Ciri-ciri dan fungsi : Diperbuat daripada kayu tembusu. Panjangnya ialah 30
sentimeter.
Cara pembuatan : Bahagian atas digunakan sebagai perenggang dan berukuran 28
sentimeter. Kayu dilarik mengikut bentuk yang diingini.
Bagian : Tumit
Ciri-ciri dan fungsi : Berukuran 10 sentimeter. Diperbuat daripada kayu pokok
sena. Ia berfungsi untuk menyokong keseluruhan alat muzik ini.
Bagian : Penggesek
Ciri-ciri dan fungsi : Diperbuat daripada kayu belimbing kerana ia lembut dan
mudah dilengkungkan. Menggunakan tali tangsi yang berbeda saiz setiap satunya
(halus, sederhana, besar).
· Alasan
Rebab disebut instrument chondrophone
Instrumen yang sumber
bunyinya berasal dari dawai.
· Cara
memainkan
- Secara
tradisional pengrebab duduk bersila ( bahasa jawa: sila ),
- pandangan
kedepan,
- sikap tegap
( tidak ndungkruk ),
- polatan
tajem tidak nolah-noleh.
- Didalam
melaksanakan tugas pengrebab selalu memusatkan perhatian pada sajian
gendhing dan selalu mengingat akan fungsi dan tugas rebab dalam
hubungannya dengan balungan gendhing serta suara rebab ( tidak
blero,sliring ).
- Rebab tegak
( jejeg ) apabila menggesek kedua kawat
- Rebab
serong kekanan apabila menggesek satu kawat kiri
- Rebab
serong kekiri apabila menggesek satu kawat kanan
2. Contoh
alat musik Aerophone (ditiup)
Contoh : Suling
·
Cara Membuat
Suling
sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya
terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat
dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song
manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan
gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan
pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam
beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling
Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta,
2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi,
baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling
sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh,
Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada
beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi
sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga
kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling
hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak
sama sekali.
·
Alasan Suling disebut sebagai alat musik
tiup Aerophone (ditiup)
Kareana
cara memainkan suling dengan ditiup
·
Cara memainkan
Sebagai salah
satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone)
dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal
angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara
terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan
pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.selain
ituuntuk mendapatkan nada yang tepat dalam memainkan instrument suling Bali
disamping tehnik
tiupan, harus disertai dengan teknik tutupan jari tangan pada setiap lubangnya
yang lazim disebut tatekep.
Dalam suling gambuh yang merupakan suling memiliki ukuran paling besar dan
panjang diantara suling Bali, dengan beberapa tatekep yang dapat dimainkan
seperti: tatekep selisir, tembung, sundaren, baro dan lebeng.
3. Alat
musik pukul (Idiophone)
a. Bernada
Berbilah
Contoh
: Gangsa
·
Cara Membuat
Alat ini terdiri dari beberapa daun logam yang
berjumlah sepuluh, setiap bar diletakkan di atas sebuah resonator individu. Bar
yang dipukul dengan palu (panggul) , masing-masing menghasilkan suara atau
bunyi yang berbeda. Durasi intensitas bunyi dan faktor kualitas suara umumnya
dilakukan dengan redaman getaran bar dengan jari-jari tangan bebas.
Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun
klipes, metundun sambuk, setengah penyalin dan bulig terdapat
dalam instrumen gangsa jongkok penunggal, jongkok pengangkem ageng, dan
jongkok pengangkep alit (curing). Instrumen-instrumen ini bilahnya
dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa mepacek. Sedangkan
bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat
pada instrumen pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen
ini bilahnya digantung yaitu memakai tali seperti jangat
·
Alasan Gangsa disebut sebagai alat
idiophone
Karena menainkannya dengan cara dipukul
·
Cara bermain
.
Tategak:
Sikap memainkan gamelan Bali memiliki makna yang sangat penting. Tidak hanya
menyangkut kajian estetik keindahan, akan tetapi bagaimana energi disalurkan
ketika memainkan gamelan. Posisi duduk seorang pemain gamelan ideal yaitu
mengambil posisi silasana yaitu
posisi duduk dimana kaki dilipat
tertumpuk (kanan dan kiri) sedangkan posisi badan tegak, dan pandangan
kedepan Dengan posisi yang benar dapat
mendukung penampilan dan secara estetik tertata
adanya. Aspek penampilan menjadi sangat
besar pengaruhnya terhadap sebuah pementasan karena tanpa didukung oleh
penampilan yang baik dan apik serta mempertimbangkan aspek keindakan akan tidak
tercapai kaidah pertunjukan yang ada seperti: kompak, harmonis, selaras serasi
dan seimbang. Sisi lain dari posisi duduk yang benar dapat memberikan energi
yang penuh/total, sebab secara penyaluran energi yang seimbang keseluruh tubuh
dapat menyebabkan kualitas pukulan terjaga intensitasnya.
Posisi tangan: Untuk dapat
memainkan gamelan secara baik tentunya memegang panggul harus diperhatikan.
Posisi tangan yang benar untuk memainkan instrument berbilah adalah tangkai
panggul dipegang oleh tangan kanan dengan ibu jari berada sejajar dengan
tangkai panggul bagian lebarnya, sedangkan keempat jari lainnya posisi terlipat
(lihat gambar). Sedangkan untuk memainkan instrument berpencon posisi tangan mengikuti
arah panggul, sedangkan telunjuk tanpa dilipat. Begitu juga pada instrument
lainnya.
Menutup/tatekep: Barungan Gong Kebyar merupakan seperangkat gamelan
yang memiliki instrumentasi yang sangat banyak. Hampir 30 -40 buah instrument
yang sebagian besar merupakan instrument perkusif. (dipukul). Tehnik-teknik
tersebut menyebabkan setiap kelompok instrument memiliki bunyi dan warna nada
yang berlainan. Instrumen-instrumen Gong Kebyar yang dimainkan secara dipukul
baik memakai tangan maupun memakai alat pemukul/panggul dalam gamelan Bali
lazim disebut gagebug.
b.
Bernada
tidak berbilah
Contoh
:Trompong
·
Cara
Membuat
.
Membuat trompong merupakan
suatu pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan
keahlian
yang khusus dan biasanya dimiliki oleh pande
gamelan, dan dalam prosesnya
mempergunakan
cara-cara dan alat-alat yang masih bersifat tradisional. Meskipun teknologi
telah
mengalami perkembangan yang tidak bisa dipungkiri mampu mempengaruhi cara kerja
pande gamelan yaitu dengan dipakainya
alat-alat yang merupakan hasil teknologi modern,
namun
teknologi tersebut hanya mampu mempengaruhi sebagian kecil dalam pekerjaan
membuat
gamelan di Desa Tihingan.
Pembuatan
Trompong Gong Kebyar di Desa Tihingan dilakukan dengan dua sistem
yaitu:
pembuatan trompong dengan
menggunakan cara sangat tradisional atau istilahnya
“gegarap dresta kuna” dan pembuatan
Trompong Gong Kebyar dengan cara modern.
Gegarap dresta kuna adalah pembuatan trompong yang dilakukan dengan tidak
mempergunakan
alat-alat modern atau yang berupa mesin praktis yang merupakan hasil
teknologi,
sedangkan pembuatan trompong yang
mempergunakan cara modern adalah
kebalikan
cara di atas yaitu sudah dipakainya alat-alat hasil teknologi. Pembuatan trompong
dilihat
dari tempat pengerjaan dibagi menjadi dua yaitu: proses di dalam prapen dan proses di
luar
prapen. Proses yang dilakukan
di dalam prapen meliputi tahap peleburan dan
pembentukan,
sedangkan di luar prapen meliputi
tahap pembersihan, pelarasan dan finishing.
1.
Pembuatan Trompong Gong Kebyar dengan Cara Dresta Kuna
Pembuatan
Trompong Gong Kebyar dengan cara dresta
kuna pada dasarnya
merupakan
teknik pembuatan trompong dengan
pengerjaan yang sangat apik dan hati-hati,
karena
dalam teknik ini lebih mementingkan hasil yaitu memperoleh trompong dengan
kualitas
yang bagus dari segi suara maupun dari segi kekuatan. Prosesnya yang pelan
membutuhkan
waktu yang lama, sehingga dalam satu hari hanya dapat menyelesaikan 1 buah
trompong saja. Jumlah atau hasil tidak menjadi
ukuran kesuksesan dalam sistem kerja ini
melainkan
kualitas trompong yang bagus
merupakan tujuan utamanya.
Dresta kuna merupakan cara pembuatan trompong di Desa Tihingan yang
merupakan
sebuah
warisan dari nenek moyang mereka dari abad ke 18 atau pada masa kejayaan Dalem
Sweca
Pura di Kabupaten Klungkung.1 Konon merupakan cara kerja hanya satu-satunya
pada
masa
itu dan menjadi andalan dalam membuat gamelan, cara/teknik ini dipergunakan
pada
masa
itu karena pesanan gamelan masih sedikit, sehingga dalam melakukan pekerjaan
selalu
mengutamakan
kualitas, meskipun memakan waktu lama tidak menjadi masalah. Cara
tersebut
berkembang dan masih dipertahankan pada masa sekarang ini.
Membuat
Trompong Gong Kebyar pertama kali yang dilakukan adalah melakukan
persiapan.
Hal ini penting dan wajib dilakukan demi mendapatkan kelancaran dalam
melakukan
pekerjaan. Persiapan yang dilakukan meliputi menyiapkan alat-alat yang akan
dipakai
dalam proses pekerjaan, berkoordinasi kepada semua pekerja atau karyawan karena
satu
pun pekerja yang absen maka pembuatan trompong
tidak bisa dilakukan, menentukan
hari
yang baik atau dewasa ayu dan
menghindari hari yang buruk dalam memulai pekerjaan.
Mencari
hari yang baik dalam membuat gamelan bertujuan untuk mendapatkan restu dan
perlindungan
atau keselamatan dari Yang Maha Kuasa, sehingga pekerjaan yang dilakukan
bisa
berjalan lancar dan memperoleh hasil yang baik, disamping hal ini berpengaruh
pada
suara
dan kekuatan/ketahanan gamelan dari segi usia, kita pun bisa bekerja dengan
perasaan
1
Berdasarkan keterangan I Wayan Widnya saat wawancara pada tanggal 20 Mei 2010
di Tihingan,
Klungkung,
serta diperkuat oleh pengerajin di Desa Tihingan.
tenang.
I Wayan Widya,2 seorang pande gamelan
mengatakan “ yen ningehang munyin
gamelan ane meduase luwung dugas ngae kanti mekelo
nu pedingehang munyine dikupinge
apin gambelane sube sing megedig” artinya jika
mendengar suara gamelan yang dibuat
berdasarkan
hari baik maka sangat lama masih terdengar suaranya ditelinga, meskipun
gamelan
tersebut sudah tidak dimainkan. Seperti
pula ungkapan I Made Nik3 juga seorang
pande gamelan mengatakan “jering bine bulun kalonge ningehang gamelan
ane meduasa
dugase ngae,”artinya bulu kuduk terasa bangun bila
mendengar suara gamelan yang dibuat
berdasarkan
hari baik. Kedua ungkapan ini sebenarnya memiliki makna bahwa gamelan yang
dibuat
berdasarkan hari baik akan memiliki kekuatan yang bersifat magis.
Pemilihan
hari baik dalam membuat trompong dimulai
dari proses awal yaitu proses
pengeleburan yang disebut nuasen. Hari baik dalam memulai pembuatan gamelan adalah
meliputi
hari: ayu nulus, kale geger, karma
sula dan dauh ayu. Sedangkan
hari yang dihindari
dalam
nuasen atau membuat gamelan
bertepatan dengan hari: sampar wangke,
kale
bancaran, kale beser. Hari-hari tersebut dihindari
karena hari tersebut berpengaruh buruk
terhadap
pekerjaan, sering mengakibatkan hasil tidak bagus dan sering mengalami
kegagalan
dalam
bekerja.
Dalam
proses nuasen dilakukan
kegiatan persembahyangan dengan mengaturkan
sesaji
berupa segehan brahma dan peras pejati pada pelinggih prapen yang terletak pada
posisi
Timur atau Timur Laut di dalam sebuah prapen.
Jika pembuatan gamelan atau
trompong sudah selesai dikerjakan biasanya
dilakukan dengan mengaturkan upacara pemuput
yaitu
nunas tirta yang diperoleh dari
pelinggih prapen dan air bekas sepuhan krawang, serta
persembahan
sesaji yang berupa: tebasan brahma,
tebasan sidakarya, soroan suci, peras
pejati, jauman, dan segehan. Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur
karena
pekerjaan
sudah mencapai hasil yang diinginkan dan trompong
yang sudah selesai dibuat
dikaruniai
umur yang panjang dan bermanfaat dikemudian hari.
Tahap
Peleburan
Setelah
nuasen dilakukan tahap
selanjutnya adalah tahap peleburan yaitu
melakukan
pencampuran
bahan, pencetakan atau membuat lempengan bundar/laklakan sebagai bentuk
awal
atau bakalan trompong. Membuat laklakan terlebih dahulu dengan
mengukur berat dari
masing-masing
pecahan lempengan, dalam pembuatan trompong
hanya dibuat sepuluh buah
lempengan
karena mengingat jumlah Trompong Gong Kebyar hanya sepuluh buah pencon.
Peleburan diawali dengan mempersiapkan alat-alat
yang dipakai dalam proses
peleburan seperti mempersiapkan tungku perapian.
Tungku perapian biasanya mengalami
kerusakan
setelah dipakai, maka setelah pemakaian tungku harus kembali diperbaiki. Hal
lain
2
Berdasarkan keterangan I Wayan Widnya saat wawancara pada tanggal 20 Mei 2010
di Tihingan,
Klungkung,
serta diperkuat oleh pengerajin di Desa Tihingan.
3
Berdasarkan wawancara dengan I Made Nik pada tanggal 25 Maret 2010 di Tihingan,
Klungkung.
GAMBAR
11
Takaran
krawang pecahan gamelan
(Foto:
Budi Susilo)
yang
dipersiapkan juga adalah : landasan dua buah, sebuah palu besi dengan berat 1,5
kg, 2
buah
sepit besar, 1 pasang pemuput atau
pompa angin, 1 pasang pengulik besar,
potongan
kayu
sebagai alas penghancur krawang dari
gamelan bekas maupun yang berupa lempengan,
4-8
buah penyangkaan, 5 buah musa yang isinya 2,5-3,5 kg, arang
secukupnya dan 1 liter
minyak
kelapa.
Membuat
laklakan trompong bisa
mempergunakan krawang yang
sudah jadi yaitu
berupa
lempengan-lempengan atau gongso,
maupun mempergunakan krawang yang
berupa
pecahan
gamelan yang dihancurkan dengan mempergunakan palu besi dengan berat 1,5 kg,
tetapi
krawang sebelumnya di alub terlebih dahulu. Ngalub adalah memanaskan krawang
tanpa
membuat krawang berubah warna
menjadi kemerahan, melainkan untuk membuat
krawang menjadi setengah matang. Ngalub berfungsi membuat pecahan
gamelan menjadi
renyah,
sehingga mudah dihancurkan. Setelah krawang
selesai dihancurkan langkah
selanjutnya
adalah menghidupkan api untuk memanaskan musa.
Musa diperlukan sebanyak
5
buah dalam tungku perapian atau prapen.
Kemudian dilakukan penakaran dengan membagi
krawang untuk trompong yang jumlahnya 32kg dibagi menjadi sepuluh takaran
yaitu berat
untuk
ukuran trompong terkecil adalah 2,5kg. Untuk ukuran yang kedua beratnya adalah
2,6½kg
yaitu dengan rumusan semakin besar ukuran trompong ditambahkan krawang
masing-masing
1,¼ons dari ukuran sebelumnya sehingga berat untuk trompong dengan
ukuran
terbesar adalah 3,7½kg.
Dalam
mementukan berat perkilogram krawang dipergunakan
timbangan memakai
kepingan
uang kepeng (pis bolong) yaitu
jumlah 250 keping uang kepeng sama dengan berat
1kg krawang, namun dengan perkembangan
jaman cara tersebuat sedikit-demi sedikit sudah
hampir
tidak dijumpai karena sudah beralih mempergunakan alat timbangan yang lebih
praktis
dan modern.
Jika
takaran sudah tepat dan selesai dilakukan selanjutnya krawang dimasukkan
kedalam
musa yang sudah dipanaskan
didalam jalikan prapen. 1
takaran dimasukkan
kedalam
1 musa kemudian dipanaskan dan
dibakar dengan mempergunakan arang batok
kelapa
atau arang kayu selama kira-kira 90 menit atau paling lama sampai 2 jam sambil
beberapa
kali diaduk mempergunakan sepit untuk
mengetahui apakah krawang tersebut
sudah
cair atau masih kental. Sambil menunggu krawang
mencair dan matang disiapkan 5
buah
penyangkaan yang kemudian diisi
dengan minyak kelapa sambil dipanaskan. Kemudian
jika
krawang sudah matang/wayah4 dengan ciri warna merah
kekuningan dan krawang jika
disentuh
dengan ujung pengulik terlihat
cair seperti lelehan lilin maka keadaan ini disebut
dengan
“anguleng andus”.
4 Wayah merupakan istilah yang dipakai pande gamelan untuk menyatakan
keadaan krawang yang
sudah
matang saat peleburan.
GAMBAR
12
Proses
nuruh (Foto: Budi Susilo)
Krawang diangkat dan dituangkan/nuruh untuk dicetak kedalam penyangkaan dan
didiamkan
sampai panasnya menghilang dan mengeras kembali, baru kemudian dikeluarkan
dari
penyangkaan. Proses peleburan ini diulang kembali karena
dalam membuat trompong
memerlukan
10 buah laklakan. Dikarenakan
dalam 1 kali peleburan memakai 5 buah musa
maka
hanya mampu dihasilkan 5 buah laklakan,
maka proses ini diulang sebanyak dua kali.
GAMBAR 13
Laklakan tromping
(Foto: Budi Susilo)
·
Alasan Trompong disebut sebagai alat idiophone
Karena menainkannya dengan cara dipukul
·
Cara memainkan
Satu tungguh trompong dalam barungan gong kebyar memiliki
sepuluh buah moncol/pencon yang merupakan nada ndang
rendah sampai nada ndung tinggi.
Instrumen ini dimainkan oleh
seorang penabuh dengan dua tangan
memakai panggul yang
disebut panggul trompong. Dalam sebuah
barungan, instrument
ini berfungsi untuk pembawa lagu, juga
membuka/pengawit
sebuah gending yang dalam barungan
membawa melodi dengan
tekniknya tersendiri. Gagebug trompong sekar tanjung susun
namanya. Sistem ini adalah gambaran
keindahan permainan
trompong yang dalam sub tekniknya
seperti: Ngembat,
Ngempyung,
Nyilih asih, nguluin, nerumpuk, ngantu, niltil, ngunda dan ngoret.
·
Tidak
bernada
Ccntoh:
Kendang
·
Cara membuat
Salah satu dari
kendang tersebut yang memiliki tehnik permainan yang unik dan rumit adalah
kendang bebarongan, yang dimana
dalam mempermainkannya menggunakan sebuah
alat yang
disebut panggul kendang, dan
tehnik permainannya lebih banyak mempergunakan
tehnik mekendang
tunggal. Disebut kendang bebarongan karena kendang ini khusus
digunakan untuk
menyajikan gending-gending bebarongan dan dipergunakakan untuk
mengiringi tari
barong. Kendang merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam
Karawitan Bali.
Istilah kendang telah disinggung dalam beberapa literatur yang berasal dari
tahun 821 dan
850 Masehi dengan istilah padahi dan
muraba. Dalam prasasti bebetin
yang
berasal dari
abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha.
Satu diantara
sembilan jenis kendang yang terdapat dalam Karawitan Bali bernama
kendang bebarongan. Kendang bebarongan adalah kendang yang secara
khusus terdapat
dalam barungan
gamelan bebarongan. Jenis
kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65
cm, garis tengah
tebokan besar berukuran 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar
21,5-23cm.
Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung
(nyalah: Bahasa Bali), karena
ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil.
Ada dua cara
untuk memainkan kendang bebarongan,
yakni bisa dengan mempergunakan
panggul dan
juga bisa dimainkan tanpa menggunakan panggul.
Adanya jenis-jenis kendang
seperti tersebut
diatas tidaklah luput dari peranan seniman-seniman yang mempunyai daya
kreatifitas
tinggi dan suatu pemikiran kritis serta nilai seni tinggi yang disertai
tahapantahapan
atau proses yang
meski dilewati.
Langkah pertama
yang dilakukan dalam pembuatan kendang bebarongan
adalah
mencari dewasa ayu - - hari atau waktu yang
baik agar mendapatkan keselamatan dalam
bekerja dan
kendang yang diciptakan nantinya memiliki kwalitas yang baik. Yang diawali
dengan mencari
waktu untuk menebang pohon yaitu sasih karo,
kawulu dan kesanga yang
biasanya disebut
sasih berag (kurus) yang
biasanya menggunakan sesaji berupa canang sari
dan segehan.
Setelah kayu dipotong maka tukang kendang akan mencari hari baik untuk
bekerja atau
nuasen. Menurut informasi dari I Putu Gede Sula Jelantik, hari tersebut adalah
hari-hari yang
jatuhnya bertepatan engan dewasa : karna sula, kala geger, aswajag turun dan
bojog turun.
Setelah kendang itu selesai digarap lalu di upacarai yang disebut dengan
istilah
ngupain atau
masupati yang bertujuan untuk
menghasilkan suara seperti yang diinginkan
sekaligus dapat
dipergunakan dalam konteks upacara. Setelah semua prosesi ini terlewati
maka ada
beberapa hal lagi yang harus dikerjakan seperti, membangun bantang dan nukub
kendang
(memasang kulit kendang).
Kendang
bebarongan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan gamelan yang
lainnya. Gamelan
bebarongan merupakan salah satu barungan gamelan Bali yang memakai
laras pelog 5
nada. Barungan gamelan ini terdiri dari : Sebuah kendang bebarongan, Dua
tungguh gender
rambat dengan jumlah bilah 13 atau 14, Dua tungguh gender
barangandengan
jumlah bilah 13 atau 14, Empat tungguh gangsa gantung pemade dengan
jumlah bilah 5
atau 6, Empat tungguh gangsa gantung kantil dengan jumlah bilah 5 atau 6,
Dua tungguh
gangsa jongkok pemade dengan jumlah bilah 5 atau 6, Dua tungguh gangsa
jongkok kantil
dengan jumlah bilah 5 atau 6, Dua tungguh jublag dengan jumlah bilah 5
atau 6, Dua
tungguh jegogan dengan jumlah bilah 5 atau 6, Sebuah gong bebarongan,
Sebuah kemong,
Sebuah klenang, Satu tungguh gentorag, Sebuah kajar, Satu pangkon cengceng,
Beberapa buah
(4-5) suling, Sebuah rebab.
Masing-masing
barungan gamelan diatas secara musikal memiliki fungsi tertentu
yaitu, kendang
berfungsi sebagai pemurba irama, jublag dan jegogan sebagai pemangku
lagu, klenang,
kemong dan kempur berfungsi sebagai pemberi tekanan gending pada
hitungan
tertentu, gender rambat berfungsi sebagai penuntun gending berdasarkan melodi
pokok dan gender
barangan untuk memberi ilustrasi berdasarkan melodi pokok,gangsa
pemade dan
kantil berfungsi untuk memberi hiasan gending dengan bermain polos dan
sangsih, kajar
berfungsi sebagai pemegang tempo dan pada bagian tertentu memberi
ilustrasi dan
aksentuasi sesuai dengan pupuh kekendangan, cengceng berfungsi sebagai
peramu dan
pemersatu instrumen lainnya serta memberi aksentuasi seperti aksen pada
kendang, suling
dan rebab berfungsi sebagai pemanis lagu dan dimainkan juga secara
improviasi pada
bagian tertentu struktur bapang barong maupun pada bagian lainnya.
Adapun tehnik
yang harus diperhatikan oleh juru kendang didalam memainkan sebuah
kendang
bebarongan yaitu, sikap duduk dalam bermain kendang, yaitu harus duduk bersila
dengan posisi
kendang diatas paha. Bagian depan/muka kendang berada disebelah kanan.
Posisi kendang
sejajar dengan bahu penabuh kendang. Posisi badan harus tegak dan perut
harus dikunci
karena sumber tenaga berasal dari perut. Dengan posisi badan yang tegak dan
pandangan ke
depan akan menambah kewibawaan seorang pemain kendang. Sikap bermain
kendang seperti
ini disebut nogdog jejerih yang
berarti mengejek musuh agar takut. Salah
satu hal yang
harus diingat oleh setiap juru kendang khususnya dalam menabuh gendinggending
bebarongan
adalah pada saat memukul kendang dengan mempergunakan panggul,
pada bagian muwa
kiri ditutup sedikit agar mendapatkan suara kendang yang lebih tajam
dan tekes.
Dalam permainan
kendang suara yang dihasilkan berbeda-beda, warna suara tangan
kanan dengan
mempergunakan panggul yaitu dug, tek tep. Warna suara tanpa
mempergunakan
panggul yaitu tep, cung, dag. Warna suara untuk tangan kiri yaitu pak dan
kung. Salah satu
hal yang harus diingat oleh setiap juru
kendang khususnya dalam menabuh
gending-gending bebarongan
adalah pada saat memukul kendang dengan mempergunakan
panggul,
pada bagian muwa kiri ditutup
sedikit agar mendapat suara kendang yang lebih
tajam dan tekes. Dalam bermain kendang
bebarongan biasanya pupuh kekendangan sangat
penting, yaitu
berfungsi untuk menghasilkan suatu pola kekendangan khas bebarongan.
Pupuh dasar yang
sering dipakai adalah jenis gilak yang
sering disebut gilak bebarongan.
Buku yang
berjudul Kendang Bebarongan Dalam Karawitan Bali Sebuah Kajian Organologi
ini sangat bagus
dipergunakan sebagai media pembelajaran khususnya didalam belajar
bermain kendang bebarongan.
·
Alasan Kendang disebut sebagai alat idiophone
Karena menainkannya dengan cara dipukul
·
Cara memainkan
1 Tategak/Sikap
Sebelum memulai
mempraktekkan bermain Nunggal Gupekan, tategak/sikap
pengendang
menjadi hal yang harus dipahami betul karena bagaimanapun juga berpengaruh
terhadap kandungan
estetika. Fase ini menjadi bahasan paling awal karena bermain kendang
tentu tidak
hanya dinikmati secara audio saja, tetapi bagaimana seorang pengendang dapat
tampil secara
performan di atas pentas sesuai dengan kaidah-kaidah tukang kendang.
Berdasarkan
proses latihan/magang yang dilakukan tersebut, untuk memainkan
kendang Gupekan
harus dipangku di atas paha dalam posisi duduk bersila dengan kaki kiri
berada di
luar/di depan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sesuai dengan gambar berikut.
Sikap kaki kiri
di depan. Posisi ini jelas memiliki perbedaan dengan memainkan kendang
kakebyaran
dengan posisi kaki kiri dilipat di depan. Alasan mengapa kaki kiri didepan,
karena dari
sudut penempatan kaki akan membantu kendang tidak banyak bergerak, dan
posisi badan
bisa lebih nampak gagah.
Posisi badan
tegak lurus dengan pandangan serong kekiri kurang lebih 10 derajat.
Dengan posisi
seperti itu disamping penampilan secara estetika menarik dan meyakinkan
juga dari segi
memainkan alat tersebut tenaga akan dapat tersalur secara terkonsentrasi
sehingga pukulan
yang dilakukan memiliki bobot kekuatan atau kualitas pukulan yang baik.
Tategak/posisi
tersebut di atas merupakan satu jabaran yang telah disepakati dan berlaku
secara
konvensional baik dalam lingkungan kampus maupun pada seniman-senimang yang
telah biasa
memainkan instrumen kendang.
Salah satu
pengendang yaitu Bapak I Wayan Suweca, SSKar. dalam suatu
kesempatan
ketika mengajar mata kuliah Karawitan Spesialisasi (kendang) juga
mengungkapkan
hal yang sama tentang posisi memainkan kendang Gupekan Nunggal. Suatu
keharusan posisi
kaki kiri ditempatkan di depan karena memainkan kendang akan lebih
mudah dan secara
tategak dapat tampil lebih
bagus, menarik, memukau, dan tertata. Dengan
posisi demikian
bunyi yang dihasilkan dapat mencapai kualitas jangkauan sesuai dengan
yang diharapkan.
2 Teknik
Berbicara
masalah teknik dalam memainkan kendang tentu banyak komponen yang
luluh dan larut
di dalamnya. Cakupan teknik tidak saja mengacu pada skiil dan kemampuan
memainkan
kendang, melainkan juga merambah pada bagian-bagian yang tidak dapat
dipisahkan,
antara lain mempertimbangkan warna suara, kemurnian pukulan (jelih), uletuletan
kedua belah
tangan (caluh), ngunda bayu (mengontrol tenaga),
mengolah sumber
bunyi, keseimbangan,
maupun kekayaan motif yang dimiliki. Kompleksitas penguasaan yang
harus dimiliki
tersebut jarang dikuasai oleh seorang pangendang. Saat ini menurut
pengamatan
instruktur pengendang sebagian besar hanya mampu menerapkan sebagian
kecilnya saja.
Segi lainnya
menyangkut peran pengendang yang harus menguasai jiwa
kepeminpinan.
Mereka harus siap memfungsikan instrumen kendang sesuai dengan tugasnya
dalam barungan
sebagai pemurba irama. Ibarat sopirnya sebuah mobil, pengendang juga
harus mampu
mengatur sebuah gending sesuai kepentingan repertoar. Ketegasan dan
konsistensi
pengendang dipertaruhkan ketika meminpin penampilan dalam pementasan
sebuah gending,
ini berarti dimanapun aksentuasi-aksentuasi gending baik keras lirih,
pengaturan
dinamika dan tempo menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh pengendang. Jadi
bagian sub ini
memiliki jangkauan bahasan yang sangat luas apabila diterjemahkan. Untuk
lebih jelasnya
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Warna Suara (Timbre)
Menjadi pemain
kendang harus memahami suara yang dapat dimunculkan oleh media
alat yaitu
kendang. Bagaimana posisi tangan yang benar ketika memainkan alat agar dapat
memunculkan
suara yang diharapkan. Secara konvensional penguasaan ini sangat penting
karena dengan
posisi tangan yang benar akan mendapatkan kualitas bunyi sesuai harapan.
Dalam kendang
Gupekan Nunggal suara yang bervariasi sangat dipentingkan, karena
dapat menggaris
bawahi adegan dan eksien yang harus diikuti secara terpadu. Bagaimana
membuat suara
dug, pak, pung, cung, teng, dan lain sebagainya agar murni adanya. Kualitas
bunyi yang
diharapkan tergantung dari bagaimana memberlakukan kendang tersebut
(memainkan) agar
dapat memunculkan suara yang sesuai dengan harapan. Banyak
pengendang
terkadang sangat sulit mengidentifikasi warna suara yang dimunculkan oleh alat
tersebut. Untuk
itu warna suara kendang menjadi bagian yang harus di pahami secara benar
apabila
keinginan untuk mendapatkan suara yang bervariasi.
b. Kemurnian
Pukulan (Jelih)
Maksud dari sub
ini tidak lebih dari kemurnian pukulan yang dihasilhan. Posisi kedua
belah tangan
(kanan dan kiri) harus sesuai dengan kaidah yang ada. Memukul kendang tidak
tepat pada
diameter (mua) maupun pada pak (tangan kiri) kendang akan
memunculkan suara
yang tidak bagus
atau sesuai dengan yang diinginkan, karena getaran selaput (kulit) tidak
merata dan tidak
seimbang sehingga memunculkan suara yang tidak menyatu (pulung).
Untuk mencapai
kemurnian suara kendang, menurut instruktur seharusnya kembali
ditekankan
terhadap kemampuan/skiil pengendang sendiri, tetapi harus terus mencari
jawaban atas
teknik yang betul-betul dapat mencapai kualitas bunyi yang diharapkan. Dalam
tataran praktek
penekanannya terletak pada kebiasaan untuk mencari suara yang sebenarnya
dengan
mempertimbangkan jangkauan alat yang dipakai. Sedapat mungkin media harus
diperhitungkan
seberapa kekuatan pukulan harus dilakukan agar media alat dapat
memunculkan
suara yang sesuai. Tentunya kembali harus mempertimbangkan rasa yang
dimiliki oleh
pengendang bersangkutan. Karena tidak jarang ditemukan pengendang yang
hanya memainkan
kendang dengan mempergunakan tenaganya tanpa mempertimbangkan
kekuatan sumber
bunyi alat yang dipergunakan.
Kemurnian
pukulan (jelih) dapat dicapai
apabila segala ketentuan-ketentuan tersebut
di atas dapat
dilakukan secara baik dan benar dengan dua aspek yaitu kemampuan teknik
pengendang baik
internal maupun eksternal dan media alat yang dipergunakan. Secara
internal
mengarah pada kemampuan individu yang cenderung pada kemampuan teknik,
sedangkan
eksternal menyangkut konteks yang menyertai dari luar diri pengendang baik
respon terhadap
lingkungan, repertoar yang dibawakan, situasi, ruang, dan waktu.
c. Kekayaan
Motif
Sebagai
pengendang harus kaya akan motif. Dengan kekayaan motif yang dimiliki
dapat menghasilkan
suara yang bervariasi. Aksentuasi-aksentuasi yang dilakukan seharusnya
didasarkan atas
kepekaan pengendang dan kekayaan motif yang dimilikinya. Karena tanpa
kekayaan motif
tersebut berpengaruh terhadap variasi bentuk kendangan yang cenderung
hasilnya sangat
monotun dan miskin. Betapa tidak, sering terjadi pemain kendang yang
kurang memiliki
variasi pukulan sehingga berdampak terhadap tampilan pertunjukan yang
kurang menarik
dan kurang greget.
Disamping
beberapa motif dapat menggaris bawahi dan mendukung tampilan
pementasan,
kurang pekanya pengendang membaca situasi pentas terhadap apa yang
diiringinya,
juga berpengaruh terhadap keutuhan dan warna repertoar yang dibawakan.
Penampilan
pengendang dalam mengiringi sebuah pementasan sering terlihat kaku dan
kurang menyatu
dan utuh karena pengendang sendiri sering penerapan mitif-motif tidak
disertai oleh
daya improfisasi yang memadai. Tarian yang mendominir musik seperti
mengiringi tari
jauk, topeng, barong, baris, dan lain sebagainya, terkadang pengendang salah
tafsir terhadap
apa yang diiringinya. Kekayaan motif tidak selamanya menjamin dapat
mengikuti
aksentuasi-aksentuasi yang dilakukan penari. Oleh sebab itu kekayaan motif dan
daya
imfrofisasi, kecerdasan, tanggap terhadap situasi (celang) sangat penting diketahui
ketika
memposisikan diri sebagai pengendang.
d. Ulet-Uletan
Kedua Belah Tangan (Caluh)
Maksud dari sub
ini mengarah pada keseimbangan tangan antara tangan kanan dan
tangan kiri.
Keseimbangan tangan dapat terjadi apabila keduanya dapat terjalin dan
berkomunikasi
secara seimbang. Ketika tangan kanan difungsikan atau sebaliknya tangan kiri
dimainkan ada
semacam tali kendali atau komunikasi yang terjalin sehingga intensitas kedua
belah tangan
seimbang dan terkontrol. Bagaimana memainkan kendang agar kedua belah
tangan dapat
saling menguasai dan seimbang ?. Ini permasalahan yang harus dicari
jawabannya.
Kesan ringan dan
caluh muncul apabila kedua
belah tangan dapat dimainkan secara
seimbang dengan
mengacu dasar-dasar yang diterapkan dalam memainkan kendang
sebelumnya.
Pencarian ulet-uletan yang baik dan seimbang menjadi titik tolak yang perlu
mendapatkan
penekanan oleh masing-masing pengendang. Apabila aspek ini tidak tercapai,
maka kualitas
bunyi dan penampilan akan kurang bagus dan menarik.
e. Ngunda Bayu.(tenaga terkontrol)
Tidak jarang
kita temukan pengendang yang hanya mampu mempertahankan
intensitas
pukulan dan suara kendang hanya setengah dari repertoar yang ditampilkan.
Situasi
ini dikarenakan
akibat dari pengendang yang kurang mengkontrol tenaganya secara baik dan
terkendali
ketika memainkan gending. Seperti contoh memainkan kendang cedugan tunggal
pada gending
tari bapang barong. Apabila tukang kendang tidak ngunda bayu atau
mengkontrol
tenaganya secara hati-hati maka akan terjadi penurunan kekuatan pukulan
apalagi tempo
yang cepat sedikit menemukan kendala terhadap pupuh kakendangannya
sehingga gending
yang dibawakan juga terjadi penurunan tempo dan mengurangi karakter
lagu.
Jadi
permasalahannya bagaimana memposisikan diri sebagai pengendang agar dari
awal sampai
akhir dari sebuah pementasan dapat mengkontrol tenaga secara terkendali
sehingga
intensitas pukulan dapat secara ajeg dipertahankan sampai akhir
lagu/pementasan.
f. Mengolah
Sumber Bunyi
Menjadi tukang
kendang/pengendang tidak hanya tahu memukul saja, melainkan
dapat juga
mengolah sumber bunyi yang ada pada kendang. Teknik pengolahan ini sangat
berdampak pada
kualitas capaian bunyi yang diinginkan. Semua komponen pendukung yang
ada untuk
mencapai suara yang diinginkan harus dikuasai seperti bagaimana mengencangkan
kendang,
mengendorkannya, mengolah sompe dan
lain-lainya. Apabila keadaan kendang
terlalu kering
atau lembab bagaimana cara mengatasinya, atau sebaliknya bagaimana dapat
membedakan suara
kendang antara kendang lanang dan wadon. Sering terjadi kesalah
pahaman kendang
lanang yang dipaksakan dikendorkan menjadi kendang wadon atau
sebaliknya,
sehingga secara fisik tidak memungkinkan dapat memunculkan kelayakan suara.
Dengan demikian
menjadi tukang kendang/ pengendang harus diikuti juga oleh kemampuan
dan kepekaan
mengolah sumber bunyi yang secara langsung harus mengerti dan tanggap
terhadap keadaan
fisik instrumen kendang itu sendiri.
g. Rasa.
Menurut
instruktur, rasa menjadi hal pokok yang kedua setelah penguasaan teknik.
Apabila teknik
telah dapat diterapkan secara baik dan benar, niscaya rasa akan mengikuti
secara perlahan.
Biasanya kandungan rasa terkait dengan rasa personal pengendang dan rasa
hasil dari suara
yang dihasilkan oleh alat menjadi satu kesatuan secara bersama dan muncul
setelah
penerapan teknik dilakukan. Diakui bahwa ketika suara kendang dirasakan oleh
pemain sendiri
telah enak dan bagus, maka dipastikan audien
memiliki rasa yang sama. Atau
nilai rasa
sebenarnya muncul dari rasa secara personal pada diri pengendang.
Sesuai dengan
program yang telah dijalankan dalam program ini, dapat dibahas
beberapa hal
penting dalam penguasaan kendang Gupekan nunggal. Disadari betul bahwa
penguasaan
teknik dimaksud tidak saja hanya dapat dipraktekkan semata, tetapi bagaimana
menterjemahkannya
dalam berbagai konteks yang ada. Beberapa yang dapat diungkap antara
lain: