Wednesday, January 23, 2013


ANTIBIOTIKA


A.DEFINISI
Antimikroba ( AM ) adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Dalam pembicaraan disini, yang dimaksudkan dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari AM sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba ( misalnya sulfonamid dan kuinolon ) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin juga tidak akan diperoleh.


B. AKTIVITAS DAN SPEKTRUM ANTIMIKROBA.

v   FUNGSI

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik ; dan ada ynag bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagi aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM.
Sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Umpamanya, penisilin G bersifat aktif terutama terhadap bakteri gram-positif, sedangkan baktri gram-negatif pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilan G ; streptomisin memiliki sifat yang sebaliknya ; tetrasiklin aktif terhadap beberapa bakteri gram-positif maupun bakteri gram-negatif, dan juga terhadap Rickettsia dan Chlamydia. Berdasarkan perbedaan sifat  ini antimikroba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (umpamanya : bensil penisilin dan streptomisin), dan berspektrum luas (umpamanya tetrasilkin dan kloramfenikol). Batas antara kedua jenis spektrum ini terkadang tidak jelas.
Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. Di samping itu antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang resisten. Di lain pihak pada septikemia yang kausanya belum diketahui diperlukan antimikroba yang berspektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.


C. MEKANISME KERJA ANTIMIKROBA

Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik masih tergantung  dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh  hospes. Peranan lamanya kontak antara mikroba dengan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menentukan untuk mendapatkan efek ; khususnya pada tuberkulostatik.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok :
(1) yang mengganggu metabolisme sel mikroba;
(2) yang menghambat sintetis dinding sel mikroba;
(3) yang mengganggu permeabilitas membran selmikroba;
(4) yang menghambat sintesis protein sel mikroba.
(5) yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.

      # Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba. Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamid, trimetoprim,asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik.
 Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar, kuman fatogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamid atau sulfon menang bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang nonfungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. Berdasarkan sifat kompetisi, efek sulfonamid dapat diatasi dengan meningkatatkan kadar PABA.
Untuk dapat bekerja, dihidrofolat harus diubah menjadi bentuk aktifnya yaitu asam tetrahidrofolat. Enzim dihidrofolat reduktase yang berperanan  disini dihambat oleh trimetropi, sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidropolat yang fungsional.
PAS merupakan analog PABA, dan bekerj adnega menghambat sintesis asam folat pada M. tuberculosis. Sulfonamid tidak efektif terhadap M. tuberculosis dan sebaiknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitif terhadap sulfonamid. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan enzim untuk sintesis asam folat yang bersifat sangat khusus bagi masing-masing jenis mikroba.

           # Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel ; diikuti berturut-turut oleh basitrasin, sporin, ynag menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka.

           # Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik, umpamanya antiseptik surface active agents. Polimiskin sebagai senyawa amonium-kuaterner dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiskin tidak efektif terhadap kuman gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Kuman gram-negatif yang menjadi resisten terhadap polimiskin, ternyata jumlah fosfornya menurun. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada memebran sel fungus sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif membran tersebut. Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada membran selnya. Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (  surface active agents ), dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba . kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain.

# Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sitesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas 2 sub unit , yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 3OS dan 5OS. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara.
Streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 3OS dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba.
Antibiotik aminoglikosid lainnya  yaitu gentamisin, kenamisin, dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama, namun proteinnya berbeda.
Eritromisin berikatan denga ribosom 5OS dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA – asam amino yang baru.
Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat sintesis protein.
Tetrasiklin berkaitan dengan ribosom 3OS dan menghalangi masuknya kompleks tRNA – asam amino pada lokasi asam amino.
Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase.

# Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, dan golongan kuinolon. Yang lainnya walaupun bersifat anti mikroba, karena sifat sitotoksisitasnya, pada umumnya hanya digunakan sebagai obat anti kanker; tetapi beberapa dalam kelompok terakhir ini dapat pula digunakan sebagai antivirus.Yang akan dikemukakan disini hanya mekanisme kerja obat yang berguna sebagai anti mikroba, yaitu rifampisin dan golongan  kuinolon.
Rifampisin, salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim polimerase- RNA (pada sub-unit) sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang fungsinya menata kromoson yang sengat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil.


D. EFEK SAMPING

Efek samping penggunaan AM dapat dikelompokkan menurut reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.

v REAKSI ALERGI.
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi dan derajat beratnya reaksi dapat berpariasi.
Prognosis reaksi sering kali susah diramalkan walaupun didasarkan atas riwayat alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin. Reaksi alergi pada kulit akibat penggunaan penisilin dapat menghilang sendiri, walaupun terapinya diteruskan. Peristiwa ini mungkin berdasarkan pada desensitisasi. Tetapi pada kejadian reaksi yang lebih berat daripada eksantem kulit, tidaklah bijaksana untuk meneruskan terapi; sebab makin berat sifat reaksi pertama makin besar kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat pada pemberian ulang, berupa anafilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioudema dan lain-lain.

v REAKSI IDIOSINKRASI
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD.

v REAKSI TOKSIK
AM pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis AM. Yang mungkin dapat dianggap relatif tidak toksik sampai ini adalah golongan penisilin. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing AM dapat memiliki predileksi terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes.
Golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap Nervus octavus. Golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortopospat. Dalam dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik , terutama pada pasien pielonefritis dan wanita hamil. Yang dikemukakan diatas ini , hanya merupakan beberapa contoh saja.
Disamping faktor jenis obat berbagai faktor dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik antara lain :fungsi organ/sistem tertentu sehubungan dengan biotrasnpormasi dan ekskresi obat.



v PERUBAHAN BIOLOGIK DAN METABOLIK
Pada tubuh   hospes, baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tesebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan AM, terutama yang berspektrum lebar, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasi dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh dapat terjadi disaluran cerna, nafas dan kelamin, dan pada kulit. Pada beberapa keadaan perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu AM.
Pada pasien yang lemah, superinfeksi potensial dapat sangat berbahaya, sebab kebanyakan mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialah kuman gram - negatif dan stafilokok yang multi - resisten terhadap obat, Candida serta fungus sejati.
Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi ialah :
1.     Adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien.
2.     Penggunaan antimikroba terlalu lama.
3.     Luasnya spektrum aktivitas antimikroba obat, baik tunggal ataupun dalam kombinasi.
Jika terjadi superinfeksi, tindakan yang perlu diambil untukmengatasinya ialah :
1.     Menghentikan terapi dengan AM yang sedang digunakan.
2.     Melakukan biakan mikroba penyebab superinfeksi.
3.     Memberikan suatu AM yang efektif terhadap mikroba tersebut.
Selain menimbulkan perubahan biologi tersebut, penggunaan AM tertentu dapat pula menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpamanya gangguan absorpsi zat makanan oleh neomisin.


CINTOH KASUS DAN PENANGANANYA

Terapi antibiotika pada masa kehamilan dan post partum
Infeksi yang terjadi selama masa kehamilan dan post partum dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai mikro organisma, termasuk Basillus, dan Kokkus jenis aerob dan anaerob. Antibiotika haruslah dimulai berdasarkan pengamatan terhadap klien. Jika tidak ditemui adanya respon klinis, perlu dilakukan kultur dari cairan vagina atau uterus, pus atau urine, sehingga dapat membantu memilih jenis antibiotika lainnya.
Infeksi uterus dapat terjadi setelah aortus atau persalinan, merupakan salahsatu penyebab utama kematian ibu. Antibiotika spektrum luas kadang dibutuh kan untuk mengobati infeksi ini. Pada kasus-kasus abortus yang tidak aman dan persalinan yang tidak dilakukan pada fasilitas kesehatan, perlu diberikan Profilaksis antitetanus.

ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

Antibiotika Profilaksis diberikan untuk membantu mencegah infeksi. Pemberian Antibiotika Profilaksis 30mnt sebelum mulai suatu tindakan, jika memungkinkan akan membuat kadar antibiotika dalam darah yang cukup pada saat dilakukan tindakan. Perkecualian untuk hal ini adalah oprasi SC, dimana Antibiotika Profilaksis sebaiknya diberikan sewaktu tali pusat dijepit setelah bayi dalahirkan. Satu kali dosis pemberian Antibiotika Profilaksis sudah mencukupi atau tadak, kurang efektif dibandingkan dengan tiga dosis atau pemberian antibiotika selama 24 jam. Jika tindakan berlangsung lebih dari 6 jam atau kehilangan darah mencapai 1500ml atau lebih, berikan dosis Antibiotika Profilaksis yang kedua untuk menjaga kadar nya dalam darah selama tindakan berlangsung.

ANTIBIOTIKA TERAPEUTIK

  • Sebagai pertahanan pertama terhadap infeksi serius, berikan kombinasi Antibiotika :
Ø  Ampisilan 2g I.V setiap 6 jam.
Ø  Ditambah gentamisin 5mg/kg BB I.V setiap 24 jam.
Ø  Ditambah metronidazol 500mg I.V setiap 8 jam.

Catatan: infeksi tidak seberapa parah amoksilin 500mg/oral setiap 8 jam dapat digunakan sebagai pengganti ampisilin, metronidazol juga diberikan peroral

  • Jika respon klinis terlihat buruk setelah 48 jam, pastikan dosis antibiotioka yang cukup diberikan, evaluasi sumber-sumber infeksi lainnya secara menyeluruh atau pikirkan untuk mengganti pilihan pengobatan berdasarkan laporan sensitivitas mikroba ( tambahkan obat lainnya untuk mengpbati bakteri anaerob, jika belum diberikan )

  •  Jika fasilitas kultur tidak tersedia, periksa ulang sempel pus, khusunya dari daerah pelvis, dan untuk penyebab noninfeksi, seperti trombosis vena dalam dan vena pelvis.

  • Pertimbangkan kemungkinan infeksi akibat organisme yang resisten terhadap kombinasi obat diatas :

ü  Jika dicurigai infeksi stafilokokus tambahkan :
-        kloksasilin 1g I.V. setiap 4 jam.
-        Atau vankomisin 1g I.V setiap 12 jam melalui infus selama 1 jam.
ü  Jika dicurigai infeksi klostridial atau stretokokus hemolitik grup A, tambahkan penisilin 2juta unit I.V. setiap 4 jam.
ü  Jika bukan salah satu kemungkinan diatas, tambahkan seftriakson 2g I.V. 24 jam.

Catatan : untuk menghindari terjadinya flebitis, tempat infus sebaiknya diganti setiap 3 hari atau jika terdapat tanda peradangan.

ü  Jika masih infeksi, evaluasi sumber infeksi.

Untuk pengobatan metritis , kombinasi antibiotiuka biasanya dilanjutkan sampai ibu tersebut bebas deman selama 48 jam. Hentikan antibiotika sekali ibu tersebut bebas demam selama 48 jam. Tidak perlu ditambah antibiotika oral, karena belum terbukti adanya keuntungan tambahan. Ibu dengan infeksi pada aliran darahnya akan membutuhkan antibiotika paling sedikit untuk 7 hari.


CONTOH KASUS.

KASUS 1. IBU HAMIL DENGAN KASUS KPD ( ketuban pecah dini )
              Penanganan :
o   Rawat dirumah sakit.
o   Jika ada tanda-tanda infeksi ( demam, cairan vagina berbau), berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan :
-        ampisilin 2g I.V. setiap 6 jam ditambah gentamisin 5mg/kg BB I.V. setiap 24 jam.
-        Jika persalinan pervaginam, hentikan antibiotika paska persalinan.
-        Jika SC lanjutkan antibiotika dan berikan metronidazol 500mg I.V. setiap 8 jam sampai bebas demam selama 48 jam.
o    Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37minggu :
-        Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin :
~ ampisilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250 mg per oral 3x perhari selama 7 hari.
-        Berikan kortikosteroid kepada ibu untuk memperbaiki pematangan paru janin.:
~ Betametason 12ng I.M. dalam 2 dosis setiap 12 jam,
~ atau dexametason 6mg I.M dalam 4 dosis setiap 6 jam
            Catatan: jangan berikan kortikosteroi jika ada infeksi.
           
  • Jika tidak terdapat infeksi dan kehamilan >37 minggu:
-        jika ketuban telah pecah > 18 jam, berikan antibiotika profilaksis. Untuk mengurangi resiko infeksi streptokokus grup B :
~ ampisilin 2g I.V. setiap 6 jam.
~ atau penisilin G 2 juta unit I.V setiap 6 jam sampai persalinan, jika tidak ada infeksi paska persalinan, hentikan antibiotika.

KASUS 2. PENDERITA DENGAN SYOCK ANAFILAKTIK.

PENANGANAN  :
Ø  Baringkan klien pada posisi kaki lebih tinggi dari kepala ( posisi trendelenburg)
Ø  Suntik segera adrenalin bi tatras ( 1: 1000 ) sejumlah 0,4cc – 0,6 cc ( 4-6 strip ) sub cutan, pada bagian tubuh yang mudah dicapai.
Ø  Pasang segera infus RL / glucose 5% , teteskan 12 tetes per menit untuk memudahkan tindakan selanjutnya. Pasang oksigen.
Ø  Amati kesadaran, denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan, apakah ada tanda-tanda kemajuan.
Ø  Bila tidak ada kemajuan ( tanda-tanda syock masih ada ), ulangi pemberian adrenalin bi tatras (1:1000 ) sejumlah 0,4 cc – 0,6 cc setiap 10 – 15 menit sub cutan, maksimal 3 x.
Ø  Sementara itu siapkan transportasi untuk merujukbila tidak terdapat tanda-tanda kemajuan.

















SUMBER- SUMBER PEDOMAN.

  • Farmakologi dan terapi edisi 4, Fak. Kedokteran U I th 1995.

  • Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, jakarta, 2002


  • Pedoman tatalaksana syock anafilaktik di puskesmas, Dep. Kes 1989.





 






No comments:

Post a Comment